Review Buku The War That Saved My Life


Judul: The War That Saved My Life
Penulis: Kimberly Brubaker Bradley
Genre: Historical Fiction
Penerbit: Elex Media
Tebal: 247 hlm.

“Jangan dengarkan ucapan orang-orang yang tidak mengenal siapa dirimu. Hanya dengarkan orang yang paling kau kenal, yaitu dirimu sendiri” 

Cerita dalam bukunya berfokus pada seorang anak perempuan bernama Ada, yang memiliki kaki pekuk. Ada di sini memiliki seorang Ibu yang ‘malu’ dengan keadaan dirinya, sehingga membuat dia selalu dikurung di kamarnya. Dan juga memiliki adik yang selalu dia sayangi dan menjadi motivasi dia untuk belajar jalan dan bertahan dalam keadaan sesulit apapun.

Kemudian, Ketika perang 2 sedang memanas, Nazi berencana menginvasi London. Dia memiliki peluang untuk kabur dengan adiknya, yang kemudian dipertemukan dan dirawat oleh Susan. Saat itulah berbagai manis pahit asam kehidupan dirasakan oleh Ada.

Karakter si Ada dalam novel ini berhasil buat emosi aku campur aduk, Di awal cerita aku kasihan sama dia karena sikap si ibunya ke Ada, kemudian menjadi agak kesal karena sikapnya terhadap Susan, tapi juga disisi lain, bikin haru banget melihat bagaimana dia merawat adiknya di usia yang masih muda juga. Kayak sibling goals gitu lah.

Bukunya sendiri selain mengisahkan tentang keluarga, disinggung juga tentang mental health yang dirasakan oleh anak akibat kekerasan dalam keluarga. Bagian ini, buat aku paling miris, karena cara ibunya berkata dan bertindak seolah sudah membuat Ada ini hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri dan orang lain. 

Aku suka cara penulis mengembangkan karakter masing-masing tokoh. Dari si Ada yang awalnya susah percaya dengan orang, dan mudah pesimis menjadi lebih sedikit terbuka, kemudian ada juga Susan yang awalnya agak cuek menjadi seseorang yang hangat yang merawat Ada dan Adiknya.

Meski bergenre historical fiction, bukunya nggak berat untuk dibaca oleh kalangan manapun. Selain karena cerita page turner dan terjemahannya super ramah (Alias bagus), POV dalam bukunya juga dari anak kecil yang jujur dan pemikirannya yang kritis dalam menghadapi konflik dan berbagai persoalan, yang akhirnya membuat aku (yang bisa dibilang sudah tidak kecil lagi) terkagum-kagum dengan pikirannya si Ada ini. 

Apalagi cara memberikan penjelasan mengenai definisi perang dan kemerdekaan dalam buku ini bukan hanya dalam arti sesungguhnya tapi juga menjadi seperti kiasan untuk mendefinisikan diri agar merdeka dari diri yang dulu.

“Apa itu kemerdekaan?”
“Hmmm. Kurasa itu berarti hak untuk mengambil keputusan sendiri, Keputusan dalam hidup kita sendiri.” -hlm.67

Selain tiga karakter tadi, ada banyak karakter lain yang membuat novel ini makin hangat. Ada si Butter, kuda poni milik Susan yang membuat Ada makin semangat untuk menikmati hidup, lalu temannya Ada si Stephan dan Maggie yang baik dan tulus ingin berteman dengan dia. Fred yang sabar mengajari Ada cara menunggangi kuda yang benar, dan juga Mrs. Thorton yang mempertemukan Ada dan Jamie, adiknya dengan Susan yang akhirnya merubah kehidupan mereka.

Pokoknya karater yang nggak aku suka si ibunya. Awalnya aku kira bakal ada plot twist kalau si ibu sebenarnya sayang sama si Ada, ternyata sampai akhir tidak :( Apakah di buku selanjutnya ada, entahlah yang pasti si ibu dalam cerita ini bikin aku kesel banget. 

Untuk ending sebenarnya tidak gantung, tapi rasanya kayak masih kurang dan butuh kelanjutan cerita mereka bertiga dalam membangun sebuah keluarga baru yang diharapkan hangat. Fyi bukunya bersekuel, semoga next bisa baca versi keduanya.

Terakhir, yang suka novel ringan dan bergenre historical fiction, bisa nyoba baca ini.

Posting Komentar

0 Komentar