Teman teman pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah perempuan atau wanita karir. Seorang perempuan yang bekerja baik itu kantoran atau memiliki usaha sendiri. Jika dulu wanita hanya dikaitkan dengan dapur, sumur dan kasur dan hanya bergantung kepada suami. Saat ini, banyak sekali perempuan yang memiliki pekerjaan dan pendapatannya masing-masing. Jika dahulu perempuan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, saat ini justru bertebaran perempuan perempuan sukses yang melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
Sejak dahulu sering di gaungkan “Kebebasan Perempuan”. Dibanding dahulu, Saat ini bisa dikatakan perempuan lebih memiliki kebebasan, baik dalam memilih karir, pendidikan, pasangan dan yang lainnya. Bahkan saat ini banyak sekali perempuan yang memiliki pekerjaan yang jika dilihat dari sudut pandang dahulu tidak mungkin, contohnya perempuan yang bekerja di bawah pemerintahan. Selain di bidang pemerintahan, para pekerja perempuan juga mendominasi usaha jasa. Menurut data Badan Pusat Stastik pada tahun 2020 peresentasi tenaga kerja wanita mencapai 34,65 persen .
Bahkan kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto mengatakan dalam wawancaranya ketika tahun 2020 bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan meningkat 1,32% ke 53,13, dibanding laki-laki yang mengalami penurunanan 0,84% menjadi 82,41%. “Artinya di tengah Covid-19 ini para perempuan tadinya tidak bekerja dan bukan angkatan kerja, sekarang masuk ke dunia kerja," ujar beliau lagi dalam wawancara tersebut.
Tapi, pernahkah teman teman berpikir apakah perempuan berkarir bisa benar benar dikatakan sebagai kebebasan yang hakiki? Atau justru malah membuat timbul problematika yang lain?
Meskipun sudah mendapat kebebasan, para perempuan karir masih menghadapi polemik, terutama bagi yang sudah menikah. Seolah olah mereka dituntut untuk memilih antara pekerjaan dan keluarga. Meskipun tidak jarang juga perempuan karir yang sukses dengan keduanya. Mereka mampu menjalankan peran sebagai ibu, istri dan dirinya sendiri. Mereka bekerja, memasak, mengasuh anak, dan melayani suami.
Tuntutan perempuan seolah tidak pernah berhenti. Ketika menjadi perempuan karir, tidak jarang mendengar perkataan yang sulit di terima oleh hati. Mereka berkata bahwa ketika menjadi karir akan membuat keluarga berantakan, anak tidak terurus dan lainnya. Salah satu faktor penyebabanya adalah faktor budaya yang mengatakan bahwa perempuan lebih baik hanya berorientasi terhadap rumah tangga agar bisa berkonsentrasi terhadap keluarga. Bahkan ketika perempuan yang telah menempuh pendidikan yang lebih tinggi dinilai lebih baik jika fokus kepada keluarga dan anaknya kelak. Seolah keahlian yang sudah dimiliki hanya sebagai pajangan atau gelar. Bahkan tidak jarang kita mendengar perkataan “Tidak usah sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya masuk dapur, atau stereotipe jangan pintar-pintar nanti tidak ada yang mau.” Dan Stereotipe-stereotipe yang lain. Meskipun kodratnya wanita harus mengurus keluarga. Seharusnya perempuan diberikan ruang untuk mengejar cita-cita, karir sama seperti laki-laki tanpa harus repot memikirkan sudut pandang masyarakat.
Padahal kalau dari sudut pandang Islam, sejak zaman Rasulullah SAW banyak sekali perempuan perempuan karir yang sukses contohnya adalah Khadijah, Istri Rasulullah SAW. Sebelum beliau menikah dengan Rasulullah SAW, Khadijah adalah seorang pedagang sukses yang bisa dikatakan memiliki karir yang melambung tinggi. Setelah menikah, Rasulullah SAW tidak pernah melarang istrinya untuk berhenti meniti karir. Bisa dikatakan justru mereka meniti karir bersama. Meskipun berkarir, Khadijah menunjukkan bahwa dia mampu sukses dengan bisnisnya dan juga dalam mengurus keluarga.
Menurut saya, semua perempuan bisa sukses dengan karir dan keluarga yang dimiliki. Selama dia mampu dan mempertanggung jawabkan pilihannya serta dapat membagi waktu antara keduanya. Kemudian untuk yang belum menikah, bisa memikirkan terlebih dahulu peran apa yang ingin di ambil kelak, apakah menjadi seorang ibu yang memililki karir atau menjadi seorang ibu rumah tangga. Peran keduanya tidaklah mudah, sehingga harus memiliki pertimbangan yang tinggi.
Bisa dikatakan semua orang harus diberikan kesempatan untuk memilih keingingannya sendiri, tanpa harus dituntut dengan perkataan orang lain. Begitu pula dengan perempuan, jika mereka memilih untuk mengambil peran ganda sebagai seorang ibu, istri dan karir maka tidak masalah selama mereka mampu dan mempertanggungjawabkan pilihan mereka.
0 Komentar